CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 29 Mei 2013

Perlindungan Konsumen Etika Bisnis



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Saat ini ada saja para produsen yang tidak mementingkan kesehatan dan keselamatan konsumennya karena sering kita jumpai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak produsen kepada pihak konsumen.
Undang undang tentang perlindungan konsumen ini memang telah di terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang undang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud konsumen ?
2.      Apa Hak dan Kewajiban konsumen ?
3.      Apa Azas dan Tujuan Prlindungan Konsumen ?
4.      Apa sajakah Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha ?
5.      Apa sajakah Prinsip Konsumsi dalam Islam ?
6.      Apa sajakah Gerakan Konsumen ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian konsumen dan perlindungan konsumen.
2.      Mengetahui aplikasi hukum perlindungan konsumen.
3.      Mengetahui karakteristik dari hokum perlindungan konsumen.
4.      Mengetahui perbuatan yang dilarang pada produsen.
5.      Mengetahui Prinsip Konsumsi dalam Islam.
6.      Mengetahuin maksud pada Gerakan Konsumen.


BAB II
PEMBAHASAN
1.1  PENGERTIAN KONSUMEN
Menurut Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : Pasal 1 butir 2 :“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Menurut Hornbyo: “Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”[1]. Pendapat lain mengatakan bahwa Pengertian Konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.[2]
Dalam islam tampaknya belum di kongkritkan secara definitive, siapakah sebenarnya konsumen itu?  Konsumen dalam masyarakat islam hanya di tuntut secara ketat dengan sederetan larangan (yakni: makan daging babi minum-minuman keras, menenakan pakaian sutera dan cincin emas untuk pria dan seterusnya.  Menurut Muhammad Djakfar konsumen adalah setiap orang atau badan  pengguna produk, baik berupa barang maupun jasa dengan berpegang teguh kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Bagi konsumen muslim dalam mengkonsumsi sebuah produk  bagaimanapun harus yang halal dan baik.oleh karena itu, disinilah arti pentingnya produksen  elindungi kepentingan konsumen sesuai dengan nilai etis yang bersumber dari ajaran keyakinan yang mereka anut tanpa mengabaikan peraturan perundangan yang berlaku[3].


1.2   HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, sebagai dampak kemajuan teknologi dan informasi, memberdayakan kinsmen semakin penting. Untuk pemberdayaan itu di negara kita telah dibuat undang-undang Republik Indonesia  Nomor 8 Tahun 1998 tentang perlindungan konsumen[4].Hak-hak dan kewajiban consumen, Konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi oleh produsen atau pelaku usaha, hak-hak tersebut sebagai berikut :
1. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan barang atau jasa .
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta jaminan barang atau jasa .
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakannya.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaiman mestinya.
8. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya .


Dipihak lain, konsumen juga dibebankan dengan kewajiban atau tanggung jawab terhadap pihak penjual tau pelaku usaha, dimana kewajiban konsumen meliputi[5] :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan dan keselamatan konsumen .
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa .
3. Membayar dengan nilai tukar yang telah disepakati bersama .
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
            Dengan undang-undang tersebut maka maka diharapkan para pelaku bisnis untuk melakukan peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan. Disini dimaksudkan agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajiban masing-masing.
            Apa yang tertuang dalam undang-undang secara eksplisit dan subtansial sebenarnya sama dengan etika islam. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi baranbg dan jasa misalnya, dimaksudkan agar konsumen muslim dalam dalam memakan dan mengkonsumsi setiap produk benar-benar aman kesehehatan dan aman agamanya. Dalam hal ini dituntut agar setiap produk aman bahan bakunya, benar prosesnya dan halal zatnya..
.      Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen[6]
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha.
a.      Azas Perlindungan Konsumen
Asas Perlindungan Konsumen : “Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”[7].
Azas Perlindungan Konsumen:
§  Asas Manfaat
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
§  Asas Keadilan
partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
§  Asas Keseimbangan
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
§  Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan,
§  Asas Kepastian Hukum
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
b.      Tujuan Perlindungan Konsumen[8]

ü meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
ü mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;
ü meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
ü  menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
ü menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
ü  meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
4.      Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu [9]:
a.       Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
Ø  Tidak sesuai dengan :
·           standar yang dipersyaratkan;
·           peraturan yang berlaku;
·          ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya
      Dalam kisah nabi shu’ayb, Allah AWT berfirman:
                  Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang merugi.dan timbanglah dengan timbangan yang  benar. Dan jangan kamu merugikan manusia pada hak-haknya”.[10]
Ø  Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang  dan/atau jasa yang menyangkut :
·         Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
·          Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan   dalam label.
·          Tidak memasang label/ penjelasan [11].
b.      Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa :
·         Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
o  Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
o   Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
o   Secara tidak benar dan selah-olah barang dan/atau jasa tersebut :
ü  Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
ü    Dibuat perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.
ü    Telah tersedia bagi konsumen.
ü  Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
ü  Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
ü   Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
ü    Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan.
ü    Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
ü   Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
Hadiat dibawah ini memaparkan bagaimana aturan moral islam melarang praktek-praktek bisnis yang memperdayakan seperti dijelaskan diatas:
Rasullulah SAW secara kebetulan melewati setumpuk jagung. Ia memasukan tanganya kedalam tumpukan jagung itu dan jari-jarinya terasa basah. Rasullulah SAW kemudian bertanya kepada pemilik tumpukan jagung tersebut,” Apa ini?” Ya, Rasullulaah, jagung-jagung itu basah karena hujan.”Rasullulah SAW menjawab,”Mengapa kamu tidak meletakkan jagung yang basah-basah itu di tempatnya sehinga orang bisa melihatnya?”ia yang curang adalah bukan diantara pengikutku”.[12]
c.   Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan  atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :
·         Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
·          Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
·         Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
d.      Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
·   Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
·    Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
·   Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
e.   Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
f.    Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan :
            Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
o   Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
o    Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.
o    Menaikkan harga sebelum melakukan obral.
Di samping itu, pelaku usaha bisa saja mempermainkan harga dengan jalan menaikkannya (mark up) dari harga normal yang kadangkala tidak ketahui oleh calon pembeli, berapakah harga yang sebenarnya. Permainan harga semacam ini pada prinsipnya merupakan bagian dari permainan penjual yang memanfaatkan keawaman calon pembeli tentang harga barang yang akan dibeli. justru krena itu Nabi saw dalam sebuah haditsnya secara umum telah melarang mempermainkan harga:
“Barang siapa yang melakukan sesuatu untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum Muslimin dengan tujuan untuk menikkan harga tersebut, maka sudah menjai hak Allah untuk menempatkannya di ‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) ”.
Factor yang mempengaruhi terjadinya harga yang tidak normal di masyarakat, diantaranya:
a.       permainan harga yang disebabkan oleh praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (al ikhtikar), [13]
b.      penyalahgunaan kelemahan konsumen seperti karena keluguannya-istirsal¸karena tidak terpelajar, atau karena keadaan konsumen yang sedang terdesak untuk memenuhi kebutuhannya-dharurah,
c.        karena penipuan dan informasi yang tidak akurat/informative-ghurur.
Untuk mengantisipasi permainan harga yang tidak wajar dalam pasar, fikih Islam telah menawarkan beberapa solusi, antara lain larangan praktik ribawi, larangan monopoli dan persaingan tidak sehat, pemberlakuan al-tas’ir (fixing price), pemberlakuan khiyar al-ghubn al-fahisy (perbedaan nilai tukar menyolok), pemberlakuan khiyar al-mustarsil (karena tidak tau harga sehingga ia membeli atas kepercayaan pada pedagang), larangan jual beli an-najasy. Larangan jual beli talaqi rukban dan jual beli al-hadhir li bad.
Demikian juga dalam hubangan dengan hak mendapat advokasi jika sekiranya terjadi sengketa pada prinsipnya islam mengedepankan adanya perdamaian(al-shulhu). Di Indonesia tugas penyelesaian kasus semacam ini antara lain bisa melalui badan peradilan niaga.
Selain hal diatas,  jika sekiranya konsumen melakuka klaim karena merasa dirugikan kaena teryata barang yang diterima mengadung cacat dengan maksud untuk mendapat ganti rugi. Apabila suatu barang telah rusak ditangan pembeli, kemudian ia mengetahui bahwa terdapat cacat pada barang tersebut, maka jika bersandar pada pendapat al khatib al syarbainiy,  pembeli berhak menuntut kerugian senilai cacat yang terjadi, dengan cara perhitungan nilai apabila barang tesebut sempurna.
Jika sekiranya pelaku bisnis tidak mau tau  (membangkang) atas kerugian yang diderita konsumen, padahal sudah jelas terbukti, maka menurut ibnu taymiyah perlu diberlakukan hukum hudud allah dan hak-hak public (huquq allah) secara hukum dan moral bagaimanapun seseorang tidak boleh merampas sekecil apapun hak orang lain, dalam arti ia harus menggati kerugian itu kepada orang yang berhak. Bagi yang mempunyai kesadaran etis tentu saja ia tidak akan menunggu sampai diberlakunya hukum hudud. Dengan kesadaran etisnya ia akan mengganti kerugian itu kepada siapun yang berhak dalam hal ini ialah konsumen
Sanksi yang dikenakan pada pelaku usaha secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu administrative dan pidana.[14]
1.      Sanksi Administratif [15]
1)  Badan Penyelesain Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26;
2)   Sanksi administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
3)   Tata cara penetapan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2.      Sanksi Pidana
Pasal 61, berkaitan dengan sanksi pidana menegaskan bahwa penuntututan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Selanjutnya secara eksplisit dipertegas apa saja bentuk sanksi pidana tersebut.[16]
1)      Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, hruf c, huruf e, ayat (2), Pasal 18dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
2)      Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3)      Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
pada pasal 63, dikatakan : 
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
a.       Perampasan barang tertentu
b.      Pengumuman keputusan hakim
c.       Pembayaran ganti rugi
d.      Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
e.       Kewajiban penarikan barang dari peredaran
f.       Pencabutan izin usaha
Demikianlah sanksi yang dijatuhkan oleh kedua hukum, baik hokum syariah maupun hokum positif (perundangan nasional), pada dasarnya sama-sama berkomitmen untuk melindungi hak atau kepentingan konsumen.  Perlakuan perlindungan terhadap konsumen tidaklah berarti untuk merugikan pelaku usaha, namun yang menjadi tujuan poko adalah ingin menciptakan keadilan antara kedua belah pihak dengan prinsip saling menguntungkan. Itulah idealitas setiap peraturan perundangan yang ingin mewujudkan keadilan, kearifan, kenyamanan, keamanan, dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kepastian hokum bagi masyarakat dalam kehidupan.
1.3      PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM
Ada lima prinsip konsumsi dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan M. Abdul Mannan sebagai berikut:[17]
a.      Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti yang mendasar sekali yang maksudnya, dalam mencari rezeki seseorang harus dengan cara yang halal dan tidak dilarang hokum, sebagaimana ditegaska dalam al-quran 168. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Kata “Halal” dimaksudkan bahwa cara perolehannya harus sah secara hukum, memperhatikan prinsip keadilan, dalam arti tidak menipu dan merampas hak orang lain, karena apabila tidak, maka harta yang diperoleh dan dimakan tidak lebih dari bangkai yang diharamkan.
b.      Prinsip Kebersihan[18]
Kata “bersih” disini dimaksudkan dalam arti lahir (fisik). Factor kebersihan memang sangat di utamakan dalam ajaran Islam. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai kita di ingatkan bahwa memperhatikan kebersihan itu merupakan cermin kualitas keimanan seorang hamba. Oleh karena itu arahan al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan makanan, hendaknya makanan itu harus yang baik dan layak untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Secara tegas Nabi saw menyatakan bahwa kebersihan dalam segala hal adalah sebagian dari iman. Selain itu Rasullah saw mengatakan “makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan sudah memakannya” (HR. Tirmizi). Namun demikian sisi lain yang perlu disadari bahwa memelihara kebersihan merupakan sebuah keniscayaan sebagai prakondisi yang harus diciptakan menuju tubuh yang sehat yang sangat dianjurkan dalam ilmu medis.
c.       Prinsip kesederhanaan[19]
Menekankan agar dalam mengkonsumsi makanan dan minuman tidak berlebih-lebihan, sesuai dengan firman-Nya:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
“Israf” yang berarti berlebihan, merupakan symbol keserakahan dalam segala hal di dunia ini. Berlebihan dalam hal apapun, berarti seseorang berada dalam titik ekstrem yang seringkali menimbulkan kesenjangan di tengah kehidupan.
d.      Prinsip Kemurahan hati[20]
Dengan mentaati perintah Islam, maka tidak aka nada bahaya maupun dosa dalam mengonsumsi makanan dan minuman halal yang dikaruniakan Tuhan karena kemurahan-Nya. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa diluar batas kemampuan manusia (darurat-emergency) ketentuan itu bisa saja disimpangi sesuai dengan firman-Nya:
173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

e.       Prinsip moralitas[21]
Berakhlak dalam Islam tidak hanya di alamatkan pada sesama manusia, tetapi juga kepada diri sendiri, lingkungan (alam) sekitar, dan bahkan terhadap Tuhan sekalipun.
Bagi para pelaku bisnis yang berpegang teguh pada prinsip moralitas merupakan prakondisi ketaatan mereka pada hukum yang berlaku. Sebagai konsekuensinya, mereka akan selalu melisendungi segala hak konsumen sebagai bagian dari ajaran hukum apapun secara universal.
1.4    GERAKAN KONSUMEN
Latar belakang lahirnya gerakan konsumen sebagaimana dikemukakan A. Sonny Keraf sebagai berikut :
a.       Banyaknya produsen berhati emas dan punya kesadaran moral yang tinggi, namun hati dan kesadaran moralnya itu sering dibungkam oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan atau uang dalam waktu singkat dari pada mempedulikan hak konsumen.
b.      Di banyak Negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, para produsen lebih dilindungi oleh pemerintah karena mereka di anggap punya jasa besar dalam menopang perekonomian Negara tersebut. Akibatnya, kepentingan mereka lebih diamankan pemerintah dari pada kepentingan konsumen.
c.       Dalam system social politik dimana kepastian hokum tidak jalan, pihak produsen akan dengan mudah membeli kekuasaan untuk melindungi kepentingannya terhadap tuntutan konsumen. Kalaupun konsumen menuntut, pihak prosusen selalu merasa diri di atas angin.
d.      Konsumen, (individual khususnya) merasa rugi kalau harus menuntut produsen dank arena itu ia selalu berada dalam posisi yang lemah. Masih beruntung bahwa kini media massa benar-benar digunakan sebagai kekuatan konsumen dimana keluhan mereka melalui rubric surat pembaca punya dampak efektif mempengaruhi produsen.
Menurut Keraf, salah satu syarat bagi terpenuhi dan terjaminnya hak-hak konsumen adalah perlunya pasar dibuka dan dibebaskan bagi semua pelaku ekonomi, termasuk produsen dan konsumen.
Selanjutnya, gerakan konsumen di Barat lahir karena berbagai tertimbang, yaitu:[22]
a.       Kebutuhan akan informasi dan pedoman yang akurat tentang berbagai produk yang beredar di masyarakat.
b.      Kebutuhan akan informasi dari produk jasa yang semakin terspesialisasi untuk membantu konsumen agar bisa mengambil keputusan mana yang benar-benar dibutuhkan oleh mereka.
c.       Adanya pengaruh iklan yang seringkali membuat konsumen kebingungan dan tidak jarang menipu atau merugikan mereka.
d.       Kurang perhatiannya keamanan produk secara serius oleh produsen.
e.         Kebutuhan konsumen akan wadah konsultasi, advokasi, dan perlindungan untuk menuntut hak dan kepentingannya sesuai dengan prinsip kontrak jual beli yang adil.
Dari kenyataan di atas dapat dipahami bagaimanapun kehadiran sebuah institusi semacam lembaga konsumen ini tetap dibutuhkan guna melindungi pihak yang selalu diposisikan ditempat marjinal. Kehadiran institusi ini antara lain untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban produsen dan konsumen. Jika sekiranya keseimbangan itu mulai terwujud maka dapat dikatakan bahwa supremasi hukum sudah mulai terbangun ditengah maraknya distorsi hukum yang semakin memprihatinkan di era globalisasi seperti sekarang ini.
1.5       INSTRUMEN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Berdasarkan uraian di atas, beberapa instrument yang dapat diterapkan untuk melindungi konsumen, antara lain dapat berupa.
1.      Perlu adanya Perundangan
2.      Standarisasi Halal ( bagi konsumen Muslim )
3.      Perlu Kehadiran Lembaga Advokasi
Kehadiran sebuah peraturan perundangan merupakan keniscayaan untuk menjamin kepastian hokum bagi setiap pencari keadilan untuk menjamin rasa aman,nyaman, dan tenang dalam kehidupan. Tanpa adanya perundangan yang berfungsi mengatur perlindungan secara khusus atas hak-hak dan kewajiban konsumen berpotensi akan mengundang kecurangan kalangan produsen yang akan melahirkan hak-hak konsumen. Sebab itu kehadiran undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaiman a diatas sudah barang tentu akan mempersempit ruang penyimpanan dalam dunia bisnis yang dapat merugikan berbagai pihak. Dan dengan kehadiran perundangan ini maka akan memperjelas apapun yang menjadi hak dan kewajiban konsumen, sebagaimana juga apa yang memenuhi hak dan kewajiban konsumen.
Demikian juga dengan adanya kebijakan standarisasi halal yang sudah mulai digalakkan oleh pemerintah dengan tujan agar komunitas Muslim dapat terlindungi dari berbagai produk yang belum jelas status hukumnya. Baik yang berupa makanan, minuman maupun kosmetika atau produk lain yang bisa dikonsumsi. Adanya standarisasi halal tidaklah berarti pemerintah ingin memanjakan komunitas tertentu dinegeri ini, karena kebijakn itu akhir-akhir ini juga digalkkan di Negara non Muslim sekalipun. Katakan saja, negeri Kanguru, dalam hal ini Australia, akhir-akhir telah banyak mengeluarkan produk-produk yang berlabel halal. Motif pokoknya adalah kepentingan bisnis karena konsumen yang dibidik adalah seluruh komunitas yang beragam keyakinan.
Demikian pula negeri jiran, dalam hal ini Malaysia yang mayoritas penduduknya sebagai penganut Islam, telah lama mencanangkan produk halal. Untuk melindungi kepentingan konsumen dari penggunaan segala macam produk yang dapat menggangu keyakinannya. Bahkan, bangsa Malaysia bertekad ingin menjadikan negerinya sebagai pusat makanan halal di tingkat dunia. Sebuah ambisi konstruktif dalam upaya melindungi kepentingan konsumen yang patut menjadi contoh bagi Negara-negara berpenduduk Muslim seperti Indonesia.
Apabila sebuah produk tanpa label halal, bisa terjadi komunitas Muslim ragu mengkonsumsinya sehingga menurut kalkulasi bisnis sudah barang tentu akan kurang menguntungkan. Sebaliknya, jika berlabelkan halal, maka berkecenderungan seluruh konsumen dengan beragam agamanya akan tetap mau mengonsumsinya. Inilah kiranya yang dimaksudkan dengan pencantuman label halal akan lebih menguntungkan dalam perpektif bisnis yang mengejar profit. Bukankah makanan halal itu sah-sah saja dikonsumsi oleh siapapun yang mengenal batas keyakinannya. Senaliknya yang tidak halal menurut keyakinanannya tidak haram mengkonsumsinya. Inilah sejatinya pentingnya labelasi halal untuk setiap produk untuk memperluas daya jangkau penikmat sebuah produk yang akhir-akhir ini sudah mulai kritis dalam memilih berbagai jenis produk sebelum mengkonsumsinya.
Karenanya, atas pertimbangan itulah para pelaku bisnis hendaknya memiliki kesadaran bahwasanya pencantuman labelisasi halal sejatinya tidak menguntungkan secara bisnis yang menuntut kejujuran dan keterbukaan secara etis. Menjujung norma-norma etika tidak saja merupakan tuntutan agama, namun juga peraturan perundangan di Negara manapun di dunia.
Demikian pula kehadiran lembaga advokasi, baik secara langsung maupun tidak langsung berupaya untuk melindungi kepentingan konsumen yang seringkali terabaikan, sehingga lebih banyak merugikan mereka. Kehadiran Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Komisi Perlindungan Persaingan Usaha (KPPU) tidak sehat, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), LPPOM Majelis Ulama Indonesia, dan lain sebagainya niscaya akan dapat lebih banyak member harapan bagi konsumen guna melindungi kepentingannya.
Selama institusi itu mau berbuat adil, dalam arti mampu menyeimbangkan antara kepentingan konsumen di satu sisi dan kepentingan konsumen di sisi lain. Apabila tidak, maka niscaya kehadirannya akan tanpa makna karena tidak memberikan keuntungan kepada semua pihak yang seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan. Karena itu bagaimanapun operasionalisasi semua institusi itu sejatinya tanpa kecuali harus tetap berpegang teguh pada kode etik yang berlaku.
Keberadaan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang secara sosiologis lebih popular di kalangan masyarakat luas daripada ketiga institusi di atas, secara tidak langsung akan dapat berfungsi mengadvokasi kepentingan konsumen di mana pun mereka berada. Terlebih lagi keberadaan LBH ini sudah sedemikian merata di seluruh tanah air, niscaya akan lebih memudahkan konsumen untuk meminta jasanya melakukan pembelian jika sekiranya kepentinganannya merasa dirugikan. Namun demikian, pertanyaannya adalah maukah konsumen secara individual meminta jasa lembaga bantuan hokum ini untuk membela kepentingannya yang secara ekonomi kurang menguntungkan yang secara tidak langsung berfunsi membela kepentingan konsumen. Sebab itu, di sinilah kiranya perlunya peran aktif dari institusi seperti YLKI,KPPU,LP-POM MUI dan KPI dalam menjalankan fungsi pokoknya di tengah masyarakat[23].
1.6       ASPEK-ASPEK YANG PERLU DILINDUNGI: PERSPEKTIF MAQASID AL-SYARIAH
Berbagai aspek yang perlu dilindungi sehubungan dengan perlindungan konsumen dapat dilihat dari ajaran maqasid al-syariah, yakni tujuan pokok diberlakukannya ajaran syariah bagi manusia yang telah ditetapkan oleh Allah SWT Yang Maha Rahman dan Rahim. Aspek-aspek tersebut meliputi agama (dien),jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (maal).
Betapapun perlindungan dalam masalah agama merupakan hal yang sangat fundamental sekali bagi para pemeluk agama, tanpa kecuali bagi pemeluk Islam dimanapun mereka berada. Oleh sebab itu, perlindungan terhadap keamanan keyakinan itu bagi konsumen perlu diprioritaskan sebelum melindungi aspek-aspek yang lain. Kendati demikian, tidaklah berarti asspek yang lain tidak penting diperhatikan karena pada dasarnya, kelima aspek tersebut merupakan sebuah kesatuan yang menjamin kesempurnaan konsumen sebagai insane yang beragam.
Melindungi agama (dien) dimaksudkan hendaknya keyakinan seorang konsumen tidak terciderai karena mengkonsumsi sebuah produk baik berupa makanan, minuman maupun kosmetik yang secara umum banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, kehadiran perundangan yang mengharuskan pencantuman standarisasi halal setiap produk yang mulai banyak digalakkan di berbagai Negara adalah merupakan salah satu bentuk pengejawatahan (ekspresi) perlindungan terhadap kepentingan konsumen Lebelisasi halal akan menghilangkan keraguan konsumen Muslim atas sebuah produk, sekaligus akan menjamin ketenangan dan keamanan mereka secara syar’iy.
Demikian pula perlindungan atas keselamatan jiwa (nafs) para konsumen niscaya merupakan salah satu aspek yang tidak kalah krusialnya di antara aspek-aspek lain yang patut mendapat perhatian oleh kalangan produsen. Artinya, jika sebuah produk, apakah dalam jangka pendek maupun panjang dapat menyebabkan terganggunya jiwa, terlebih lagi menyebabkan kematian niscaya produk tersebut sangatlah tidak etis untuk dipasarkan. Hanya demi keuntungan sesaat dan demi kepentingan korporat secara etis produsen tidak dibenarkan memasarkan sebuah produk yang mengancam keselamatan jiwa, kendati bisa jadi konsumen sendiri tidak tahu akibat yang akan menimpa dirinya. Di sinilah sejatinya hati nurani para produsen diuji ketulusan dan kearifannya untuk menyeimbangkan antara kepentingan korporat di satu pihak dengan kepentingan konsumen di lain pihak.
Melinduni kesehatan akal(‘aql) tentu merupakan hal yang tidak kalah pentingnya pula sebagai bagian dari perlindungan keamanan dan kenyamanan konsumen. Akal merupakan anugerah Tuhan yang sangat vital dalam kesempurnaan keberagaman seorang muslim. Tanpa akal sehat, seseorang tidak akan pernah menjadi “mukallaf” yang dibebani tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban agama seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan ia dipandang sebagai manusia yang kurang sempurna sehingga terlepas dari kewajiban-kewajiban syar’iy. Dalam kaitan ini, dalam Islam dikenal ajaran “laa diina liman laa’aqla lahu” yang artinya tidak akan dikenai kewjiban agama bagi seseorang yang tidak mempunyai akal (sempurna sehat).
Dalam Islam sangat dilarang penggunaan makanan maupun minuman yang dapat merusak kesehatan akal karena berkecenderungan akan mengganggu seseorang dalam melaksanakan kewajiban yang diperintahkan agama. Dengan alasan inilah sejatinya produsen dituntut agar bisa segala macam produk yang dihasilkan tidak berakibat terganggunya kesehatan akal penggunanya.
Demikian pula dalam kaitan dengan perlindungan terhadap keturunan (nasl). Dalam hal ini produsen dituntut untuk memperhatikan keselamatan konsumen dalam kaitan dengan masalah keturunan mereka. Perlu dihindari menghasilkan dan memasarkan produk yang dapat menganggu janin, menyebabkan kemandulan, atau bahkan menyebabkan terjadinya dekandensi moral dikalangan anak muda yang semuanya itu akan menyuramkan harapan masa depan keluarga dalam masyarakat mendapatkan keturunan yang sehat tentu menjadi harapan semua keluarga agar tidak terjadi loss generation yang justru sangat ditakuti oleh semua orang. Samahalnya dengan harapan agar anak-anak keturunan dalam sebuah keluarga menjadi manusia yang berakhlak dan bermanfaat sebagai pelanjut kedua orang tua di masa yang akan datang.
Selanjutnya dalam kaitan dengan perlindungan terhadap harta (maal), antara lain seyogyanya produsen maupun penjual menetapkan harga secara proposional antara jumlah barang dan harga yang harus dikeluarkan konsumen. Perlu ada keseimbangan antara kualitas barang dengan harga yang pantas dan wajar. Karena dengan menjual sebuah produk yang demikian mahal, niscaya akan mengganggu stabilitas ekonomi seseorang selaku konsumen.
Demikian seterusnya, banyak hal yang patut dieprhatikan oleh para produsen maupun penjual dalam upaya melindungi kepentingan konsumen dalam berbagai aspeknya. Dalam hal ini mereka perlu bersikap adil dan seimbang di dalam memperhatikan kepentingan produsen selaku pencari profit dengan kepentingan konsumen selaku penikmat sebuah produk. Apabila keseimbangan itu terwujud dan terpelihara maka berarti etika perlindungan terhadap konsumen benar-benar telah diimplementasikan dalam kehidupan nyata.[24]
1.7       BERAGAM MODUS PENYIMPANGAN
Diantara modus penyimpangan yang seringkali atau rentan dilakukan baik oleh produsen maupun penjual adalah dalam bentuk mengkorup kualitas, mengurangi kuantitas, dam melambungkan harga. Betapa sulit kiranya bagi produsen maupun penjual untuk menghindari ketiga modus tersebut sehingga akan terlepas dari praktik bisnis hitam yang tidak terpuji.
Mengurangi kualitas misalnya, dalam praktik seorang penjual mengatakan kepada pembeli bahwa barang yang dijual adalah kualitas di bawahnya. Bagi penjual, prakti ini tentu menguntungkan secara material, tapi rugi secara moral karena jelass telah merugikan konsumen secara materi yang sejatinya perlu dilindungi. Dalam perspektif Islam, perolehan harta yang tidak jujur akam menghilangkan keberkahan karena diraih oleh pendosa yang tidak terhormat, baik di hadapan manusia, terlebih lagi di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Demikian pula dalam kaitan dengan aspek kuantitas tidak jarang yang telah banyak mengantar produsen maupun penjuaal ke lembah amoral yang sangat tidak terterpuji, sehingga kepada pelakunya Allah SWT mengganjar dengan neraka. Karakteristik koruptor timbangan ini dalam al-Qur’an dilukiskan, apabila menjual ia mengurangi timbangan. Sebaliknya, jika membeli, berkecenderungan ia akan menambah berat timbangan, yang semuanya itu akan merugikan pihak lain karena telah ke luar dari orbital etika yang sejatinya perlu dijunjung tinggi oleh semua pihak.
Berikutnya yang tidak kalah seringnya pula yang biasa dipratikkan oleh para pelaku bisnis adalah menggelembungkan harga yang berpotensi merugikan konsumen atau pembeli. Dalam hal ini produsen atau penjual tega menaikkan harga yang sedemikian tinggi sehingga tidak seimbang antara jumlah uang yang harus dikeluarkan konsumen dengan kualitas dan kuantitas bbarang yang dibeli atau dikinsumsi. Tentu saja praktik semacam ini tidaklah berbeda dengan kedua modus sebelumnya, yakni ingin meraih keuntungan sesaat, tapi bersamaan dengan itu pula pelakunya telah mengorbankan keberkahan dan falah yang tidak saja di dunia, bahkan juga di akhirat kelak di kemudian hari.
Sudah barang tentu hanyalah pelaku bisnis yang benar-benar mempunyai komitmen yang tinggi terhadap etika sehingga ia mampu bersikap adil terhadap konsumen selaku penikmat sebuah produk. Konsumen adalah pihak yang sejatinya wajib dilindungi kepentingannya dan diberikan hak-haknya secara proporsional.[25]
Al-Quran dan Hadist yang memberikan sinyal kepada kita untuk kita jalankam etika yang berkaitan dengan etika penjualan, pembelian, dan persaingan, yang kesemuanya itu dilakukan dengan cara-cara kebajikan.
Hadist riwayat Bukhari:
Allah mengasihi orang yang longgar atau toleran apabila menjual, membeli dan menagih hutang.
Dalam Al-Quran QS, An-Nisa ayat 107: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa, (DR. Muhammad Abdullah Al Akabi, “Ekonomi Islam dan Penerapannya di Masa Kini” terjemahan Abdullah Suhaili : Sastra Hudaya, Jakarta).[26]
Etika bisnis dalam kaitan perilaku penjualan dan pembelian di tuntun oleh Islam supaya berlaku jujur, amanah dan fathonah dan tidak ada sedikitpun salah satu pihak yang dirugikan. Jika membuat perjanjian di dalam bisnis yang dilakukan, maka perjanjian itu mesti ditepati. Jika dititipi amanah oleh salah satu pihak maka amanah tersebut benar-benar dipegang teguh berusaha sekuat mungkin untuk melaksanakan amanah tesebut. Bentuk-bentuk kesepakatan yang telah dibuat berdasar saling mendapatkan keuntungan, tentu kesepakatan ini secara konsisten benar-benar dilaksanakan.[27]






Contoh kasusnya : Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil
Berbagai kasus tentang perlindungan konsumen selalu menjadi perhatian, dalam kasus ini biasanya pemenangnya dari pihak produsen. Contohnya kasus prita, prita dari sekian banyaknya korban yang memperjuangkan haknya sebagai konsumen yang menuntut pertanggungjawabannya dari penyedia jasa. Sebagai konsumen yang merasakan ketidakpuasan atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional. Seharusnya Prita wajar untuk mengajukan keluhan. Prita “bukan tanpa hak” untuk menyampaikan keluhannya. Prita menyampaikankeluh kesahnya pada jejaring sosial di internet, justru malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
Muasalnya adalah tulisan Prita dalam e-mail pribadi kepada rekan-rekannya yang berisi keluhan terhadap pelayanan RS yang berlokasi di Serpong, Tangerang tersebut. Prita awalnya memeriksakan diri pada 7 Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi dan sakit kepala. Ia ditangani dr. Hengky dan dr. Indah, diagnosanya adalah Demam Berdarah (DB) dan disarankan rawat-inap. Semasa rawat inap, Prita merasakan berbagai kejanggalan seperti terus diberikan berbagai suntikan tanpa penjelasan apa pun. Bahkan, tangan, leher dan daerah sekitar mata mengalami pembengkakan. Ketika Prita memutuskan untuk pindah rumah sakit, ia kesulitan mendapatkan data medis dirinya. Yang dipermasalahkannya adalah mengapa diagnosa awal 27.000 trombosit bisa berubah mendadak menjadi 181.000 trombosit.  Prita mempertanyakan perbedaan yang signifikan itu.
Analisis kasus :
Dalam kasus di atas prita menyampaikan keluhan pelayanan RS yang berlokasi di Serpong, Tangerang tersebut melalui email pribadinya, dengantindakan itu prita malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama baik, pasal  27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Karena ancaman hukuman maksimalnya disebutkan dalam pasal 45 ayat 1 UU yang sama lebih dari 5 tahun penjara atau tepatnya 6 tahun penjara, maka tersangka bisa ditahan.
Padahal prita hanya menyampaikan keluhan yang dikemukakan Prita pada internet atas layanan rumah sakit Omni Internasional yang tidak memuaskan konsumen dan itupun dijamin oleh undang-undang. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berlaku sejak 20 April 2000.
Dari kasus di atas akan membuat konsumen lainnya takut untuk  menyuarakan keluhannya yang pada akhirnya akan selalu menjadi obyek semena-mena pelaku usaha produk barang atau jasa. keputusan yang kurang berpihak pada keadilan seperti itu tidak bisa diterima,karna merugikan konsumen. [28]




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka kami menyimpulkan bahwa hingga saat ini perlindungan konsumen masih menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen.

















REFERENSI
Kotler, Philip. 2008,Manajemen pemasaran, 9.,Jakarta: Erlangga
Djakfar, Muhammad. 2012, Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit Dan Pesan Moral Ajaran Bumi. Jakarta: penebar plus.
Muhammad.2002. Visi Al-Quran Tentang Etika Dan Bisnis. Jakarta:Salemba Diniyah
Drs. Muslich, M.M.,. 1998 Etika Bisnis : Pendekatan Subtantif dan Fungsional Yogyakarta: Penerbit Ekonisia.
http//:www.pengertian konsumen dan kewajiban konsumen _ Ekaodon's Blog.htm
http://seftiean.wordpress.com/2012/11/04/kasus-perlindungan-konsumen



[1] http//:www.pengertian konsumen dan kewajiban konsumen _ Ekaodon's Blog.htm
[2] Philip kotler. Manajemen pemasaran.(Jakarta: erlangga, 2008),9
[3] Muhammad Djakfar,Etika bisnis: menangkap spirit ajaran langit dan pesan moral ajaran bumi.(Jakarta: penebar plus,2012),142
[4] Ibid,143
[5] ibid
[7] Dalam Pasal 2 UU No. 8/ 1999
[8] Pasal 3 UU No. 8/ 1999
[9] Pasal 8
[10] Q.s asy-syu’ra (26)
[11] Nama barang;Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;Tanggal pembuatan;Aturan pakai; Akibat sampingan; Nama dan alamat pelaku usaha;Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat, Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

[12] Muhammad.2002. visi al-quran tentang etika dan bisnis.jakarta:salemba diniyah
[13] Ibid, 163
[14] Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
[15] pasal 60
[16] dalam pasal 62
[17] Muhammad Djakfar,Etika bisnis: menangkap spirit ajaran langit dan pesan moral ajaran bumi.(Jakarta: penebar plus,2012),148
[18]Ibid 149
[19] ibid
[20] Dalam djakfar,150
[21] Dalam djakfar 151
[23] Prof.Dr.H.Muhammad Djakfar.S.H,.M.Ag., Etika Bisnis:Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. (Jakarta: Penebar Plus,2012), hal.155-157


[24] Prof.Dr.H.Muhammad Djakfar.S.H,.M.Ag., Etika Bisnis:Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. (Jakarta: Penebar Plus,2012), hal.157-160

[25] Prof.Dr.H.Muhammad Djakfar.S.H,.M.Ag., Etika Bisnis:Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. (Jakarta: Penebar Plus,2012), hal.160-161
[26] Drs. Muslich, M.M., Etika Bisnis : Pendekatan Subtantif dan Fungsional, 1998, Yogyakarta: Penerbit Ekonisia. Hal : 86
[27] Drs. Muslich, M.M., Etika Bisnis : Pendekatan Subtantif dan Fungsional, 1998, Yogyakarta: Penerbit Ekonisia. Hal : 87

[28] http://seftiean.wordpress.com/2012/11/04/kasus-perlindungan-konsumen

4 komentar:

Giands mengatakan...

makasih ya buat artikelnya sangat membantu sekali :D jadi faham etika bisnis yang berhubungan langsung dengan konsumen :D

Unknown mengatakan...

sama2 :)

medy mengatakan...

Broker Terbaik – Dapatkan Banyak Kelebihan Trading Bersama FBS,bergabung sekarang juga dengan kami
trading forex fbsindonesia.co.id
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. SPREAD DIMULAI DARI 0 Dan
3. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANK LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya

Buka akun anda di fbsindonesia.co.id
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085365566333
BBM : d2e26405

pagezachrich mengatakan...

Borgata Hotel Casino & Spa, Atlantic City NJ Jobs | Kambi
View reviews, 강릉 출장마사지 compare customer ratings, 양산 출장마사지 see promotions, and 제천 출장샵 learn more about Borgata Hotel Casino & Spa, Atlantic City 평택 출장마사지 NJ. 군포 출장마사지

Posting Komentar