pertamanya sich g tau gmn bwt blog itu...... gara-gara ad final test untuk mata kuliah pemasaran jasa yang berhubungan dengan e-commerse bu Irma mensyratkan untuk membuat blog ehh tak tw knp jadi pengen punya blog sendiri walo tulisannya g jelas tata letakx jg g jelas hyhyhyhyhyhy........
Myke Shama
Minggu, 02 Juni 2013
Kualitas Jasa berdasarkan Perspektif Islam
Kualitas Jasa berdasarkan Perspektif Islam, Penjabaran
Prinsip CARTER
Islam merupakan agama yang
mengatur segala dimensi kehidupan. Al-Qur’an diturunkan Allah Ta’alā
kepada manusia untuk memberikan solusi atas segala permasalahan hidup. Allah Ta’alā
berfirman dalam Qs. An-Nahl[16]: 89:
… وجئنا بك شهيدا على هؤلاء ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى
ورحمة وبشرى للمسلمين
Wa ji’nā bika syahīdan ‛alā
hā-u-lā-i wanazzalnā ‛alaika’l-kitāba tibyānan likuli syai-in wa
hudau-wa rahmatan wa busyrā li’l-muslimīn
“… dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas
seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.”
Oleh karena itu, setiap
aktifitas hidup terikat dalam aturan syariah. Demikan halnya dalam penyampaian
jasa, setiap aktifitas yang terkait harus didasari oleh kepatuhan terhadap
syariah yang penuh dengan nilai-nilai moral dan etika. Perkembangan organisasi
jasa syariah telah memberikan dimensi baru dalam pengukuran kualitas jasa.
Othman dan Owen (2001) telah
memperkenalkan enam dimensi untuk mengukur kualitas jasa pada lembaga keuangan
syariah. Metode ini menggunakan lima dimensi yang terdapat dalam SERVQUAL dan
menambahkan dimensi compliance/kepatuhan(kepatuhan terhadap syariat
Islam) di dalamnya Keenam dimensi tersebut dikenal dengan CARTER model, yakni Compliance,
Assurance, Reliability, Tangible,
Empathy dan Responsiveness (CARTER).
Compliance merupakan
dimensi terpenting dalam pengukuran kualitas jasa syariah karena kepatuhan
terhadap syariah merupakan wujud eksistensi seorang muslim. Allah Ta’alā
berfirman dalam Qs. Adz- Dzariyāt [51]: 56
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Wa mā khalaqtu’l- jinna
wa’l-insa illa liya‛budūn
“dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.”
CARTER model dapat digunakan
untuk mengukur kualitas jasa pada lembaga yang menjadikan syariah sebagai dasar
organisasinya. Dimensi CARTER jika dijelaskan dalam konsep Islam adalah sebagai
berikut:
1. Compliance
(kepatuhan) adalah kepatuhan terhadap aturan atau hukum-hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah Ta’alā (Syariah)
Syariah Islam merupakan pedoman
sekaligus aturan yang diturunkan Allah Ta’alā untuk diamalkan oleh para
pemeluknya dalam setiap kehidupan agar tercipta keharmonisan dan kebahagiaan.
Allah Ta’alā berfirman dalam Qs. Al-Māidah [5] : 48 tentang kewajiban
menjalankan syariah, yakni:
وانزلنا إليك الكتاب با لحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب
ومهيمنا عليه فاحكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهوأهم عما جاء ك من الحق لكل
جعلنا منكم شرعة ومنها جا …
Wa anzalnā ilaika’l-kitāba
bi’l-haqqi muşaddiqa’l-limā baina yadaihi mina’l-kitābi wa muhaiminan ‛alaihi
fā’hkum bainahum bimā anzala’l-Lahu walā tattabi’ ahwa-ahum ‛amma jā-aka
mina’l-haqqi likullin ja‛alna minkum syir‛atan wa min hājā…
“Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan membawa
kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
menjaganya maka putuskanlah mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah dan
janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang padamu. Untuk setiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang…”
kemudian Allah Ta’alā
befirman dalam QS. Al-Maidah [5]:49, bahwa setiap perkara hendaknya diputuskan
berdasarkan syariah :
وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا
تتبع أهواءهم واحذرهم أن يفتنوك عن بعض ما أنزل الله إليك فإن #
تولوا فاعلم أنما يريد الله أن يصيبهم ببعض ذنوبهم وإن كثيرا من الناس
لفاسقون
Wa-anihkum bainahum bimā
anzala’l-Lahu walā tattabi’ ahwā-ahum wahżarhum ai-yaftinūka ‘am-ba’dhi mā
anzalal-Lahu ilaika fa-intawallau fa’lam an-namā yuridu’l-Lahu ay-yuhsībahum bi
ba’di żunūbihim. Wa inna katsirā’m-min’an-nāsi lafāsikūn.
“Dan hendaklah engkau memutuskan
perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau
mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai
mereka memperdayakan engkau terhadap sebagaian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa Allah berkehendak menimpakan musibah disebabkan dosa-dosa
mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orng-orang fasik.”
Allah Ta’alā telah
menegur dan menjadikan Bani Israil contoh yang buruk ketika mereka tidak
melaksanakan syariah secara menyeluruh, sebagaimana firman-Nya dalam Qs. Al
Baqarah[2] : 85:
…أفتؤمنون
ببعض الكتاب وتكفرون ببعض فما جزاء من يفعل ذلك منكم إلا خزي في الحياة الدنيا
ويوم القيامة يردون إلى أشد العذاب وما الله بغافل عما تعملون
…Afatu’minūna
biba‛dhi’l-kitābi wa takfurūna biba‛d, famā jazā-u-mai yaf‛alu żālika
min-kum illa khizyun fī’l-hayāti’d-dun-yā wa yauma’l-qiyāmati yuraddūna illā
asyadi’l-‛adāb, wa mā’l-Lahu bi gāfilin ‛ammā ta‛malūn
“…Apakah
kamu akan beriman kepada sebagian isi kitab dan kufur terhadap sebagian
yang lain, tiada lain balasan orang yang berbuat demikian daripada kamu
kecuali kehinaan dalam hidup di dunia dan di hari kiamat akan
dihalau kepada siksa yang sangat pedih.”
Pengetahuan seseorang tentang
syariah akan meningkatkan kepatuhannya terhadap perintah dan larangan Allah Ta’alā,
sehingga memunculkan kepribadian yang penuh moral dan etika. Keyakinan terhadap
Allah Ta’alā akan memberikan stabilitas emosi pada individu dan motivasi
positif dalam setiap aktifitas bisnisnya. Allah Ta’alā berfirman dalam
Qs. Ath-Thalāq [65]:2-3 bahwa Dia akan memudahkan setiap aktifitas orang yang
bertaqwa.
ويزقه من حيث لا يحتسب، ومن ﻳﺘﻮكل
علي الله فهوحسبه (È) ومن ﻳﺘﻖ ﷲ ﻳﺠﻌﻞﻟﻪ ﻣﺨﺮﺟﺎ …
…Wamai-yattaqi’l-Laha
yaj‛ala’l-Lahu makhrajā, wayarzuq-hu min haiśu lā yahtasīb, wa mai-yatawakkal
‛alā’l-Lahi fahuwa hasbuhu…
“…Barangsiapa bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan Dia memberinya
rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkan (keperluan)nya…”
2. Assurance (jaminan)
adalah pengetahuan yang luas karyawan terhadap produk, kemahiran dalam
menyampaikan jasa, sikap ramah/sopan, serta kemampuan mereka untuk menumbuhkan
kepercayaan pelanggan.
Pengetahuan dan kemahiran atas
suatu produk hanya akan diperoleh dari sebuah proses belajar yang tekun dan
bersungguh-sungguh. Islam memerintahkan agar setiap muslim senantiasa belajar
dengan tekun dan terus meningkatkan kemampuan dirinya. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’alā tentang keutamaan orang yang berilmu, sebagaimana
dalam Qs. Al-‛Ankabūt [29]:43, yakni:
وما يعقلها إلا العالمون …
..wa mā-ya‛kiluhā
illā’l-‛ālimūn
“Tiada yang memahaminya kecuali bagi orang-orang yang berilmu” ,
demikian juga pada Qs. Az-Zumar
[39]: 9:
قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون
Qul hal yastawi’l-lażīna
ya‛lamūna wa’l-ladzīna lā ya‛lamūn.
“Katakanlah, apakah sama (kedudukan) orang-orang yang mengetahui
(berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (bodoh).”
serta dalam Qs.Al-Mujādilah
[58]:1, yakni:
…يرفع الله
الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات، والله بما تعملون خبير
yarfa‛i’l-Lahu’l-ladzīna
āmanū-min-kum wa’l-ladzīna ūtū’l-‛ilma darajāt, wa’l-Lahu bimā ta‛malūna khabīr
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Rasulullah Şalla’l-Lahu
‛alaihi wa Sallam memberikan motivasi kepada ummatnya agar
bersunguh-sungguh dalam meningkatkan kapasitas dirinya melalui menuntut ilmu.
Kesunguhan dalam menuntut ilmu tersebut akan dibalas oleh Allah Ta’ala dengan
kemudahan menuju surga-Nya. Rasulullah Şalla’l-Lahu ‛alaihi wa Sallam
bersabda:
من سلك طريق يلتمس فيه
علما سهل الله طريقا الي إلجنة
Man salaka tharīqan yaltamisu
fīhi ‛ilman, sahhala’l-Lahu tharīqan ilā’l jannah
“Barangsiapa melalui suatu jalan
untuk mencari suatu pengetahuan, Allah akan memudahkan jalannya ke syurga.”
(HR. Muslim dan Turmidzi dari Abu
Hurairah dalam Şahih Muslim 2699. Hadist şahih menurut As-Suyuthi
dalam Al-Jāmi’u’ş-Şaghīr, II/8756)
Peningkatan pengetahuan personal
sangatlah penting bagi organisasi jasa. Karyawan yang memiliki
pengetahuan luas terhadap sebuah jasa, akan mampu berbicara lebih luas tentang
jasa tersebut dan dapat menyampaikan jasa lebih baik kepada pelanggan. Proses
penyampaian jasa yang baik dapat meningkatkan kepercayan pelanggan terhadap
organisasi, karena pelanggan akan membandingkan informasi yang dia dapat dengan
pengalaman setelah menggunakan jasa. Apabila informasi yang didapat berbanding
lurus dengan pengalaman, maka persepsi positif pelanggan terhadap produk jasa
tersebut akan semakin bertambah, dan selanjutnyat dapat mendorong keputusan
pelanggan untuk menggunakannya kembali pada masa yang akan datang.
Bagian lain dari dimensi Assurance
adalah sikap karyawan yang ramah dan sopan. Hal tersebut dapat menarik
perhatian dan membentuk hubungan baik antara kedua belah pihak. Sikap tersebut
merupakan bagian dari etika perdagangan yang harus dijalankan oleh setiap
muslim. Hal ini telah diajarkan dan diterapkan oleh Muhammad Rasulullah
Şalla’l-Lahu’alaihi wa Sallam dalam aktivitasnya, beliaubersabda :
رحم الله عبدا سمحا
إذاباع، سمحا إذااشترى، سمحا إذاقضى، سمحا إذااقتضى
rahima’l-Lahu ‘abdan samhan
idzā bā‛a, samhan idzā’sy-tarā, samhan idzā qadā, samhan idzā’q-tadā
“semoga kasih sayang Allah
dilimpahkan kepada orang yang bersikap lemah lembut (ramah) pada saat membeli,
menjual, menghutang, dan meminta kembali uangnya.”
(HR. Bukhari dan Ibnu Majah dari
Jabir bin Abdullah radiya’l-Lahu‛anhuma. Hadist şahih
menurut As-Suyuthi dalam Al-Jāmi’u’ş-Şaghīr, II/4434).
Allah Ta’alā juga
memerintahkan kepada setiap muslim untuk mengucapkan kata-kata yang baik ketika
berinteraksi dengan orang lain, sebagaimana termaktub dalam Qs. Al-Baqarah
[2]:83, yakni:
… وقولوا
للناس حسنا …
Waqūlū li’n-nāsi hasanā
“…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia…”.
Perkataan yang baik (sopan) dan
lemah lembut (ramah) akan membentuk pola interaksi yang berkualitas.
Keberhasilan seorang dalam berinteraksi akan membawa hasil yang saling
menguntungkan para pihak terkait.
3. Responsiveness (daya
tanggap) menyangkut kerelaan sumber daya organisasi untuk memberikan
bantuan kepada pelanggan dan kemampuan untuk memberikan pelayanan secara cepat
(responsif) dan tepat.
Daya tanggap merupakan bagian
dari profesionalitas. Organisasi yang profesional senantiasa berkomitmen untuk
memberikan pelayanan terbaik, memperhatikan harapan dan masukan dari pelanggan
serta meresponnya dengan cepat dan tepat. Jika tidak demikian, berarti
manajemen organisasi tersebut telah menzalimi pelanggan. Allah Ta’alā
melarang setiap muslim untuk berbuat zalim dalam berserikat/berbisnis sebagaimana
termaktub dalam Qs. Şaad[38]:24, yakni:
…وإن كثيرا من
الخلطاء ليبغي بعضهم على بعض, إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات …
…Wa inna
katsīra’m-min’al-khulaţā-i liyab-gī ba‛duhum ‛alā ba’d,
ilā’l-lażīna āmanū wa-‛amilu’ś-śalihāti…
“…dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebahagian dari mereka berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang
yang beriman dan berbuat kebajikan…”
Allah Ta’alā
memerintahkan kepada setiap muslim untuk tertib dalam setiap urusannya, serta
memiliki daya tanggap dan bersungguh-sungguh dalam setiap aktifitasnya,
sebagaimana firman Allah Ta’alā dalam Qs. Al-Insyirah [94] :7 :
فإذا فرغت فانصب
fa-iżā faragta fānśab.
”Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.”
Muhammad Rasululullah Şalla’l-Lahu‛alaihi
wa Sallam juga memerintahkan setiap muslim untuk bertindak sunguh-sunguh
serta profesional dalam setiap pekerjaannya agar tidak ada yang terdzailimi
atas perbuatan yang dilakukannya, Rasulullah Şalla’l-Lahu’alaihi wa Sallam,
bersabda:
ان الله تعلى كتب الا
حسان على كل شيء،…
inna’l-Laha Ta’ala
kataba’l-ihsāna ‛alā kulli syai-in…
“Sesungguhnya Allah Yang
Mahatinggi memerintahkan berbuat baik dalam setiap hal…”
(HR. Ahmad -dalam Musnadnya-,
Muslim, serta Abu Dawud, Nasa’i, Turmidzi, dan Ibnu Majah. Hadist şahih
menurut As-Suyuthi dalam Al-Jāmi’u’ş-Şaghīr, I/1761)
Al-Qaradhawi dalam khutbah
Jum’at di Qatar TV pada 15 April 2005 (rekaman dalam memritv.org)
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Ihsān (الاحسان) atau berbuat
baik dalam hadist di atas adalah tekun (bersungguh-sungguh) dan bertindak
profesional dalam setiap pekerjaan.
4.Tangible (bukti
fisik) menyangkut fasilitas fisik organisasi yang nampak,
peralatan yang digunakan, serta bahan komunikasi yang digunakan oleh organisasi
jasa. Bukti fisik merupakan tampilan fisik yang akan menunjukkan identitas
organisasi sekaligus faktor pendorong munculnya persepsi awal pelanggan
terhadap suatu organisasi jasa.
Ketidakmampuan organisasi dalam
menampilkan bukti fisiknya dengan baik, akan melemahkan citra serta dapat
menciptakan persepsi negatif pada pelanggan. Muhammad Rasulullah Şalla’l-Lahu‛alaihi
wa Sallam bersabda :
لو يعطى الناس بدعواهم،
لا دعى رجول أمول قوم ودماءهم، لكن البينة على المدعى وليمين على من أنكار
lau yu’ţā’n-nāsa bi
da’wāhum, lā’d‛a rijālun amwāla qaumin wa dimā-a-hum, la-kini’l-bay’yinnatu
‛ala’l-mudda‛ī wa’l-yamīnu ‛alā man ankara
“Jika semua orang dibiarkan
menuduh semaunya, niscaya akan banyak orang yang menuduh harta suatu kaum dan darahnya.
Oleh karena itu, haruslah seorang yang menuduh itu membawa bukti-buktinya dan
yang menolak untuk bersumpah.”
(HR. Ahmad -dalam Musnadnya- ,
Muttafaqun ‘Alaihi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas Radhiya’l-Lahu ‘anhumā.
Hadist şahih menurut As-Suyuthi dalam Al-Jami’ush-Shagīr,
II/7495)
Hadist tersebut memberikan
hikmah tentang pentingnya bukti fisik atas kebenaran sebuah pengakuan, atau
dapat dipahami bahwa tanpa adanya bukti fisik, maka pengakuan akan dihiraukan .
Profesionalitas sebuah
organisasi jasa dapat dilihat dari bukti fisik yang ditampilkan. Hal ini
mengandung konskuensi bahwa sebuah organisasi jasa belum dapat dikatikan
profesional ketika organisasi jasa tersebut belum mampu menampilakan bukti
fisik yang dapat diindera oleh pelanggan dalam proses penyajian jasanya. Oleh
karena itu, organisasi jasa syariah harus mengkreasi bentuk fisik bangunan dan
peralatan yang menunjang operasionalnya sedemikian rupa sehinga pelanggan
merasa nyaman dan memiliki kepercayaan terhadap organisasi tersebut.
Hal ini ditunjukkan dengan
penampilan fisiknya mencerminkan nilai-nilai Islam, mulai dari kenyamanan,
ketersediaan fasilitas, kebersihan, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan
penampilan fisik sebuah organisasi jasa syariah yang dapat membantu setiap muslim
untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya.
5. Empathy
menyangkut kepedulian organisasi terhadap maksud dan kebutuhan pelanggan,
komunikasi yang baik dengan pelanggan, dan perhatian khusus terhadap mereka.
Sebuah organisasi jasa syariah
harus senatiasa memberikan perhatian khusus terhadap masing-masing pelanggannya
yang ditunjukkan dengan sikap komunikatif yang diiringi kepahaman tentang
kebutuhan pelanggan. Hal ini merupakan wujud kepatuhan penyedia jasa terhadap
perintah Allah Ta’alā untuk selalu peduli terhadap kondisi dan kebutuhan
orang lain, sebagaimana firman-Nya dalam Qs. An-Nahl [16] : 90, yakni :
إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن
الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون
inna’l-Lāha ya‛muru
bi’l‛ad-li wa’l-ihsāni wa-ītā-i żīlqurbā wa-yanhā ‛ani’l-fahsyā-i wa’l-munkari
wa’l-bagyi, ya’izukum la‛allakum tażakkarūn.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.”
juga dalam Qs. Al-Qashash [28]
:77 :
… و احسن كما احسن الله
اليك…
…wa ahsin kamaa ahsa’l-Lahu
ilaik…
“…dan berbuat baiklah
sebagaimana Allah berbuat baik kepaamu…”
Muhammad Rasulullah Şalla’l-Lahu‛alaihi
wa Sallam bersabda :
لا يؤمن أحدكم حتي يحب
لأخيه ما يحب لنفسه
lā yu’minu ahadukum hatta
yuhibba li-akhihi mā yuhibbu linafsihi
“Tidak dapat dikatakan beriman
seseorang diantara kalian, hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia
mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Ahmad -dalam Musnadnya- ,
Ibnu Majah, Turmidzi, dan Nasa’i. Hadist şahih menurut As-Suyuthi dalam
Al-Jāmi’u’ş-Şaghīr,II/9940).
Empathy dapat mendekatkan
hubungan antara organisasi dan pelanggannya sehingga membentuk pola interaksi
positif yang menguntukan kedua belah pihak.
6. Reliability (keandalan)
merupakan kemampuan penyampaian kinerja yang telah dijanjikan kepada pelanggan
secara handal dan akurat, artinya pelanggan dapat melihat dan memberikan kesan
spontan bahwa kinerja jasa yang diberikan oleh organisasi terjamin, tepat, dan
terasa memberikan kemudahan bagi pelanggan. Hal ini dapat dilihat dari
sistematika pelayanan dan bentuk pelayanan.
Kehandalan merupakan inti dari
kualitas jasa, karena pelanggan menilainya berdasarkan pengalaman dalam
menggunakan jasa tersebut (Lovelock dan Wright, 2007: 99). Oleh kerena itu,
sebuah organisasi jasa syariah harus mampu menyediakan jasa yang telah
dipublikasikannya secara handal dan akurat. Hal ini dilandasi oleh motivasi
yang disampaikan oleh Muhammad Rasulullah Şalla’l-Lahu‛alaihi wa
Sallam, beliau bersabda :
من يسّر على معسر يسّر
الله عليه في الدنيا والآخرة، ومن ستر مسلماً ستره الله في الدنيا والآخرة والله
في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
…Man yassara ‛alā mu‛sirin
yassara’l-Lahu ‛alaihi fī’d-dun-yā wa’l-ākhirat wa man satara musliman
satarahu’l-Lahu fi’d-dun-yā wa’l-ākhirat, wa’l-Lahu fī-‛auni’l-‛abdi
mā-kāna’l-‛abdu fī ‛auni akhi-hi…
“…Barangsiapa yang
memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya
akan Allah mudahkan baginya di dunia dan
akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim
Allah akan tutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong
hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya…”
(HR. Muslim dari Abu Hurairah
dalam şahihya nomor 2699, riwayat Imam Ahmad -dalam Musnadnya-
dari Abu Hurairah sebagaimana dalam Al-Jāmi’u’ş-Şaghīr II/8741,
dan Riwayat Bukhari dalam Al-Jāmi’u’ş-Şaghīr II/9108)
Konsep kualitas jasa dalam
perspektif syariah adalah bentuk evaluasi kognitif dari pelanggan atas
penyajian jasa oleh organisasi jasa yang menyandarkan setiap aktivitasnya
kepada nilai-nilai moral, sesuai yang telah dijelaskan oleh syara’.
Adapun tujuan utama penyajian jasa syariah adalah mendekatkan diri kepada Allah
Ta’alā. Sikap tersebut memiliki hikmah terciptanya trust
(kepercayaan pelanggan)yang merupakan nilai tambah penting dalam sebuah bisnis.
Antonio (2007:96) mengatakan “Money is not number one capital in business,
the number one is trust” (Uang bukanlah modal utama dalam bisnis, yang
utama adalah kepercayaan ).
“dikutip dari: MEASURING
CUSTOMER SERVICE QUALITY BASED ON FAŢĀNAH IMPLEMENTATION. 2012.
Proceedings of 2nd Global Islamic Marketing Conference (GIMC). Abu
Dhabi. January 16 – 18 oleh Ririn Tri R, Adistiar Prayoga, Nisful Laila”
Diposting oleh : http://adistiarprayoga.wordpress.com/2012/11/29/kualitas-jasa-berdasarkan-perspektif-islam-penjabaran-prinsip-carter/
Rabu, 29 Mei 2013
Perlindungan Konsumen Etika Bisnis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya
didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari
produsen atau pelaku usaha. Saat ini ada saja para produsen yang tidak
mementingkan kesehatan dan keselamatan konsumennya karena sering kita jumpai
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak produsen kepada pihak
konsumen.
Undang undang tentang perlindungan konsumen ini memang telah
di terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang
itu sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam
undang undang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak
ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya
berkaitan dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang
dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud konsumen ?
2.
Apa Hak dan Kewajiban konsumen ?
3.
Apa Azas dan Tujuan Prlindungan
Konsumen ?
4.
Apa sajakah Perbuatan yang dilarang
bagi Pelaku Usaha ?
5.
Apa sajakah Prinsip Konsumsi dalam
Islam ?
6.
Apa sajakah Gerakan Konsumen ?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui pengertian konsumen dan
perlindungan konsumen.
2.
Mengetahui aplikasi hukum
perlindungan konsumen.
3.
Mengetahui karakteristik dari hokum
perlindungan konsumen.
4. Mengetahui perbuatan yang dilarang
pada produsen.
5. Mengetahui Prinsip Konsumsi dalam
Islam.
6. Mengetahuin maksud pada Gerakan
Konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
PENGERTIAN
KONSUMEN
Menurut
Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : Pasal 1 butir 2
:“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Menurut Hornbyo: “Konsumen
(consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa;
seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan
jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau
sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”[1].
Pendapat lain mengatakan bahwa Pengertian Konsumen adalah semua individu dan
rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi
pribadi.[2]
Dalam islam tampaknya belum di kongkritkan secara definitive, siapakah
sebenarnya konsumen itu? Konsumen dalam
masyarakat islam hanya di tuntut secara ketat dengan sederetan larangan (yakni:
makan daging babi minum-minuman keras, menenakan pakaian sutera dan cincin emas
untuk pria dan seterusnya. Menurut Muhammad
Djakfar konsumen adalah setiap orang atau badan
pengguna produk, baik berupa barang maupun jasa dengan berpegang teguh
kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Bagi konsumen muslim dalam
mengkonsumsi sebuah produk bagaimanapun
harus yang halal dan baik.oleh karena itu, disinilah arti pentingnya
produksen elindungi kepentingan konsumen
sesuai dengan nilai etis yang bersumber dari ajaran keyakinan yang mereka anut
tanpa mengabaikan peraturan perundangan yang berlaku[3].
1.2
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, sebagai dampak
kemajuan teknologi dan informasi, memberdayakan kinsmen semakin penting. Untuk
pemberdayaan itu di negara kita telah dibuat undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1998 tentang
perlindungan konsumen[4].Hak-hak
dan kewajiban consumen, Konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi oleh produsen
atau pelaku usaha, hak-hak tersebut sebagai berikut :
1. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau
jasa.
2. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan barang atau jasa .
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta
jaminan barang atau jasa .
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang
digunakannya.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian apabila
barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaiman mestinya.
8. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya .
Dipihak lain,
konsumen juga dibebankan dengan kewajiban atau tanggung jawab terhadap pihak
penjual tau pelaku usaha, dimana kewajiban konsumen meliputi[5]
:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang atau jasa, demi keamanan dan keselamatan konsumen .
2. Beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang atau jasa .
3. Membayar dengan nilai tukar yang
telah disepakati bersama .
4. Mengikuti upaya penyelesaian
hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Dengan
undang-undang tersebut maka maka diharapkan para pelaku bisnis untuk melakukan
peningkatan dan pelayanan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan. Disini
dimaksudkan agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak dan kewajiban
masing-masing.
Apa
yang tertuang dalam undang-undang secara eksplisit dan subtansial sebenarnya
sama dengan etika islam. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi baranbg dan jasa misalnya, dimaksudkan agar konsumen muslim dalam
dalam memakan dan mengkonsumsi setiap produk benar-benar aman kesehehatan dan
aman agamanya. Dalam hal ini dituntut agar setiap produk aman bahan bakunya,
benar prosesnya dan halal zatnya..
. Azas
dan Tujuan Perlindungan Konsumen[6]
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya
didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari
produsen atau pelaku usaha.
a.
Azas Perlindungan Konsumen
Asas Perlindungan Konsumen : “Perlindungan konsumen
berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen,
serta kepastian hukum”[7].
Azas Perlindungan Konsumen:
§ Asas Manfaat
mengamanatkan
bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
§ Asas Keadilan
partisipasi
seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil,
§ Asas Keseimbangan
memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual,
§ Asas Keamanan dan Keselamatan
Konsumen
memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan,
§ Asas Kepastian Hukum
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
b.
Tujuan Perlindungan Konsumen[8]
ü meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
ü mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/
atau jasa;
ü meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
ü menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi;
ü menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
ü meningkatkan kualitas barang dan/
atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
4.
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu [9]:
a.
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
Ø Tidak sesuai dengan :
·
standar yang dipersyaratkan;
·
peraturan yang berlaku;
·
ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang
sebenarnya
Dalam
kisah nabi shu’ayb, Allah AWT berfirman:
“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu
termasuk orang-orang merugi.dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Dan jangan kamu merugikan manusia pada
hak-haknya”.[10]
Ø Tidak sesuai dengan pernyataan dalam
label, etiket dan keterangan lain mengenai barang dan/atau jasa yang
menyangkut :
·
Tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling
baik atas barang tertentu;
·
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal
sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam
label.
b.
Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa :
·
Secara
tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
o
Telah
memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode
tertentu, sejarah atau guna tertentu.
o
Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal
dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
o
Secara tidak benar dan selah-olah
barang dan/atau jasa tersebut :
ü Telah mendapatkan/memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesoris tertentu.
ü Dibuat perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan/afiliasi.
ü Telah tersedia bagi konsumen.
ü Langsung/tidak langsung merendahkan
barang dan/atau jasa lain.
ü Menggunakan kata-kata berlebihan,
secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa
keterangan lengkap.
ü Menawarkan sesuatu yang mengandung
janji yang belum pasti.
ü Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu,
jika bermaksud tidak dilaksanakan.
ü Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
ü Dengan menjanjikan hadiah barang
dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat
kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
Hadiat
dibawah ini memaparkan bagaimana aturan moral islam melarang praktek-praktek
bisnis yang memperdayakan seperti dijelaskan diatas:
Rasullulah SAW secara kebetulan
melewati setumpuk jagung. Ia memasukan tanganya kedalam tumpukan jagung itu dan
jari-jarinya terasa basah. Rasullulah SAW kemudian bertanya kepada pemilik
tumpukan jagung tersebut,” Apa ini?” Ya, Rasullulaah, jagung-jagung itu basah
karena hujan.”Rasullulah SAW menjawab,”Mengapa kamu tidak meletakkan jagung
yang basah-basah itu di tempatnya sehinga orang bisa melihatnya?”ia yang curang
adalah bukan diantara pengikutku”.[12]
c. Dalam menawarkan
barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan
atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :
·
Harga/tarifdan
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
·
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang
dan/atau jasa.
·
Kegunaan
dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
d.
Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan
hadiah dengan cara undian dilarang :
· Tidak melakukan penarikan hadiah
setelah batas waktu dijanjikan.
· Mengumumkan hasilnya tidak melalui
media massa.
· Memberikan hadiah tidak sesuai janji
dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah
yang dijanjikan.
e. Dalam menawarkan
barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang
dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
f. Dalam hal
penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui
konsumen dengan :
Menyatakan barang dan/atau jasa
tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu
tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
o
Tidak
berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
o
Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah
tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.
o
Menaikkan harga sebelum melakukan obral.
Di samping itu, pelaku usaha bisa saja mempermainkan harga
dengan jalan menaikkannya (mark up)
dari harga normal yang kadangkala tidak ketahui oleh calon pembeli, berapakah
harga yang sebenarnya. Permainan harga semacam ini pada prinsipnya merupakan
bagian dari permainan penjual yang memanfaatkan keawaman calon pembeli tentang
harga barang yang akan dibeli. justru krena itu Nabi saw dalam sebuah haditsnya
secara umum telah melarang mempermainkan harga:
“Barang siapa yang melakukan sesuatu
untuk mempengaruhi harga-harga barang kaum Muslimin dengan tujuan untuk
menikkan harga tersebut, maka sudah menjai hak Allah untuk menempatkannya di
‘Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat (HR. Ahmad dan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah) ”.
Factor yang mempengaruhi terjadinya harga yang tidak normal
di masyarakat, diantaranya:
a. permainan harga yang disebabkan oleh
praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (al ikhtikar), [13]
b. penyalahgunaan kelemahan konsumen
seperti karena keluguannya-istirsal¸karena
tidak terpelajar, atau karena keadaan konsumen yang sedang terdesak untuk
memenuhi kebutuhannya-dharurah,
c. karena penipuan dan informasi yang tidak
akurat/informative-ghurur.
Untuk mengantisipasi permainan harga yang tidak wajar dalam
pasar, fikih Islam telah menawarkan beberapa solusi, antara lain larangan
praktik ribawi, larangan monopoli dan
persaingan tidak sehat, pemberlakuan al-tas’ir
(fixing price), pemberlakuan khiyar al-ghubn al-fahisy (perbedaan
nilai tukar menyolok), pemberlakuan khiyar
al-mustarsil (karena tidak tau harga sehingga ia membeli atas kepercayaan
pada pedagang), larangan jual beli an-najasy.
Larangan jual beli talaqi rukban dan
jual beli al-hadhir li bad.
Demikian juga
dalam hubangan dengan hak mendapat advokasi jika sekiranya terjadi sengketa
pada prinsipnya islam mengedepankan adanya perdamaian(al-shulhu). Di Indonesia tugas penyelesaian kasus semacam ini
antara lain bisa melalui badan peradilan niaga.
Selain hal
diatas, jika sekiranya konsumen melakuka
klaim karena merasa dirugikan kaena teryata barang yang diterima mengadung
cacat dengan maksud untuk mendapat ganti rugi. Apabila suatu barang telah rusak
ditangan pembeli, kemudian ia mengetahui bahwa terdapat cacat pada barang
tersebut, maka jika bersandar pada pendapat al khatib al syarbainiy, pembeli berhak menuntut kerugian senilai
cacat yang terjadi, dengan cara perhitungan nilai apabila barang tesebut sempurna.
Jika sekiranya pelaku
bisnis tidak mau tau (membangkang) atas
kerugian yang diderita konsumen, padahal sudah jelas terbukti, maka menurut
ibnu taymiyah perlu diberlakukan hukum hudud
allah dan hak-hak public (huquq allah)
secara hukum dan moral bagaimanapun seseorang tidak boleh merampas sekecil
apapun hak orang lain, dalam arti ia harus menggati kerugian itu kepada orang
yang berhak. Bagi yang mempunyai kesadaran etis tentu saja ia tidak akan
menunggu sampai diberlakunya hukum hudud. Dengan kesadaran etisnya ia akan
mengganti kerugian itu kepada siapun yang berhak dalam hal ini ialah konsumen
Sanksi yang dikenakan pada pelaku usaha secara garis besar
dapat dibagi dua, yaitu administrative dan pidana.[14]
1.
Sanksi Administratif [15]
1) Badan
Penyelesain Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administrative
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20,
Pasal 25, dan Pasal 26;
2)
Sanksi administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
3) Tata
cara penetapan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2.
Sanksi Pidana
Pasal 61, berkaitan dengan sanksi
pidana menegaskan bahwa penuntututan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha
dan/atau pengurusnya. Selanjutnya secara eksplisit dipertegas apa saja bentuk
sanksi pidana tersebut.[16]
1)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
hruf c, huruf e, ayat (2), Pasal 18dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
2)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, ayat (1) huruf d dan
huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3)
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap,
atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
pada
pasal 63, dikatakan :
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62,
dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
a.
Perampasan barang tertentu
b.
Pengumuman keputusan hakim
c.
Pembayaran ganti rugi
d.
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen
e.
Kewajiban penarikan barang dari peredaran
f.
Pencabutan izin usaha
Demikianlah sanksi yang dijatuhkan oleh kedua hukum, baik
hokum syariah maupun hokum positif (perundangan nasional), pada dasarnya
sama-sama berkomitmen untuk melindungi hak atau kepentingan konsumen. Perlakuan perlindungan terhadap konsumen tidaklah
berarti untuk merugikan pelaku usaha, namun yang menjadi tujuan poko adalah
ingin menciptakan keadilan antara kedua belah pihak dengan prinsip saling
menguntungkan. Itulah idealitas setiap peraturan perundangan yang ingin
mewujudkan keadilan, kearifan, kenyamanan, keamanan, dan lain sebagainya.
Bahkan yang lebih penting lagi adalah menciptakan kepastian hokum bagi
masyarakat dalam kehidupan.
1.3 PRINSIP
KONSUMSI DALAM ISLAM
Ada lima prinsip konsumsi dalam Islam sebagaimana yang
dikemukakan M. Abdul Mannan sebagai berikut:[17]
a.
Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti yang mendasar sekali yang
maksudnya, dalam mencari rezeki seseorang harus dengan cara yang halal dan
tidak dilarang hokum, sebagaimana ditegaska dalam al-quran 168. “Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Kata “Halal”
dimaksudkan bahwa cara perolehannya harus sah secara hukum, memperhatikan
prinsip keadilan, dalam arti tidak menipu dan merampas hak orang lain, karena
apabila tidak, maka harta yang diperoleh dan dimakan tidak lebih dari bangkai
yang diharamkan.
b.
Prinsip Kebersihan[18]
Kata “bersih” disini dimaksudkan
dalam arti lahir (fisik). Factor kebersihan memang sangat di utamakan dalam
ajaran Islam. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai kita di ingatkan bahwa
memperhatikan kebersihan itu merupakan cermin kualitas keimanan seorang hamba.
Oleh karena itu arahan al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan makanan,
hendaknya makanan itu harus yang baik dan layak untuk dimakan, tidak kotor
ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Secara tegas Nabi saw menyatakan
bahwa kebersihan dalam segala hal adalah sebagian dari iman. Selain itu
Rasullah saw mengatakan “makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan
sudah memakannya” (HR. Tirmizi). Namun demikian sisi lain yang perlu disadari
bahwa memelihara kebersihan merupakan sebuah keniscayaan sebagai prakondisi
yang harus diciptakan menuju tubuh yang sehat yang sangat dianjurkan dalam ilmu
medis.
c.
Prinsip kesederhanaan[19]
Menekankan agar dalam mengkonsumsi makanan dan minuman tidak
berlebih-lebihan, sesuai dengan firman-Nya:
Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.
“Israf” yang berarti berlebihan,
merupakan symbol keserakahan dalam segala hal di dunia ini. Berlebihan dalam
hal apapun, berarti seseorang berada dalam titik ekstrem yang seringkali
menimbulkan kesenjangan di tengah kehidupan.
Dengan mentaati perintah Islam, maka tidak aka nada bahaya
maupun dosa dalam mengonsumsi makanan dan minuman halal yang dikaruniakan Tuhan
karena kemurahan-Nya. Tetapi jika dalam keadaan terpaksa diluar batas kemampuan
manusia (darurat-emergency) ketentuan
itu bisa saja disimpangi sesuai dengan firman-Nya:
173. Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan
terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
e.
Prinsip moralitas[21]
Berakhlak dalam Islam tidak hanya di
alamatkan pada sesama manusia, tetapi juga kepada diri sendiri, lingkungan
(alam) sekitar, dan bahkan terhadap Tuhan sekalipun.
Bagi para pelaku bisnis yang
berpegang teguh pada prinsip moralitas merupakan prakondisi ketaatan mereka
pada hukum yang berlaku. Sebagai konsekuensinya, mereka akan selalu
melisendungi segala hak konsumen sebagai bagian dari ajaran hukum apapun secara
universal.
1.4 GERAKAN
KONSUMEN
Latar
belakang lahirnya gerakan konsumen sebagaimana dikemukakan A. Sonny Keraf
sebagai berikut :
a.
Banyaknya produsen berhati emas dan
punya kesadaran moral yang tinggi, namun hati dan kesadaran moralnya itu sering
dibungkam oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan atau uang dalam waktu
singkat dari pada mempedulikan hak konsumen.
b. Di banyak Negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia, para produsen lebih dilindungi oleh pemerintah karena
mereka di anggap punya jasa besar dalam menopang perekonomian Negara tersebut.
Akibatnya, kepentingan mereka lebih diamankan pemerintah dari pada kepentingan
konsumen.
c.
Dalam system social politik dimana
kepastian hokum tidak jalan, pihak produsen akan dengan mudah membeli kekuasaan
untuk melindungi kepentingannya terhadap tuntutan konsumen. Kalaupun konsumen
menuntut, pihak prosusen selalu merasa diri di atas angin.
d. Konsumen, (individual khususnya)
merasa rugi kalau harus menuntut produsen dank arena itu ia selalu berada dalam
posisi yang lemah. Masih beruntung bahwa kini media massa benar-benar digunakan
sebagai kekuatan konsumen dimana keluhan mereka melalui rubric surat pembaca
punya dampak efektif mempengaruhi produsen.
Menurut
Keraf, salah satu syarat bagi terpenuhi dan terjaminnya hak-hak konsumen adalah
perlunya pasar dibuka dan dibebaskan bagi semua pelaku ekonomi, termasuk
produsen dan konsumen.
Selanjutnya,
gerakan konsumen di Barat lahir karena berbagai tertimbang, yaitu:[22]
a. Kebutuhan akan informasi dan pedoman
yang akurat tentang berbagai produk yang beredar di masyarakat.
b. Kebutuhan akan informasi dari produk
jasa yang semakin terspesialisasi untuk membantu konsumen agar bisa mengambil
keputusan mana yang benar-benar dibutuhkan oleh mereka.
c. Adanya pengaruh iklan yang
seringkali membuat konsumen kebingungan dan tidak jarang menipu atau merugikan
mereka.
d. Kurang perhatiannya keamanan produk secara serius oleh
produsen.
e. Kebutuhan konsumen akan wadah
konsultasi, advokasi, dan perlindungan untuk menuntut hak dan kepentingannya
sesuai dengan prinsip kontrak jual beli yang adil.
Dari kenyataan di atas dapat dipahami bagaimanapun kehadiran
sebuah institusi semacam lembaga konsumen ini tetap dibutuhkan guna melindungi
pihak yang selalu diposisikan ditempat marjinal. Kehadiran institusi ini antara
lain untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban produsen dan konsumen. Jika
sekiranya keseimbangan itu mulai terwujud maka dapat dikatakan bahwa supremasi
hukum sudah mulai terbangun ditengah maraknya distorsi hukum yang semakin
memprihatinkan di era globalisasi seperti sekarang ini.
1.5 INSTRUMEN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Berdasarkan
uraian di atas, beberapa instrument yang dapat diterapkan untuk melindungi
konsumen, antara lain dapat berupa.
1. Perlu
adanya Perundangan
2. Standarisasi
Halal ( bagi konsumen Muslim )
3. Perlu
Kehadiran Lembaga Advokasi
Kehadiran
sebuah peraturan perundangan merupakan keniscayaan untuk menjamin kepastian
hokum bagi setiap pencari keadilan untuk menjamin rasa aman,nyaman, dan tenang
dalam kehidupan. Tanpa adanya perundangan yang berfungsi mengatur perlindungan
secara khusus atas hak-hak dan kewajiban konsumen berpotensi akan mengundang
kecurangan kalangan produsen yang akan melahirkan hak-hak konsumen. Sebab itu kehadiran
undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaiman a
diatas sudah barang tentu akan mempersempit ruang penyimpanan dalam dunia
bisnis yang dapat merugikan berbagai pihak. Dan dengan kehadiran perundangan
ini maka akan memperjelas apapun yang menjadi hak dan kewajiban konsumen,
sebagaimana juga apa yang memenuhi hak dan kewajiban konsumen.
Demikian
juga dengan adanya kebijakan standarisasi halal yang sudah mulai digalakkan
oleh pemerintah dengan tujan agar komunitas Muslim dapat terlindungi dari
berbagai produk yang belum jelas status hukumnya. Baik yang berupa makanan,
minuman maupun kosmetika atau produk lain yang bisa dikonsumsi. Adanya
standarisasi halal tidaklah berarti pemerintah ingin memanjakan komunitas
tertentu dinegeri ini, karena kebijakn itu akhir-akhir ini juga digalkkan di
Negara non Muslim sekalipun. Katakan saja, negeri Kanguru, dalam hal ini
Australia, akhir-akhir telah banyak mengeluarkan produk-produk yang berlabel
halal. Motif pokoknya adalah kepentingan bisnis karena konsumen yang dibidik
adalah seluruh komunitas yang beragam keyakinan.
Demikian
pula negeri jiran, dalam hal ini Malaysia yang mayoritas penduduknya sebagai
penganut Islam, telah lama mencanangkan produk halal. Untuk melindungi
kepentingan konsumen dari penggunaan segala macam produk yang dapat menggangu
keyakinannya. Bahkan, bangsa Malaysia bertekad ingin menjadikan negerinya
sebagai pusat makanan halal di tingkat dunia. Sebuah ambisi konstruktif dalam
upaya melindungi kepentingan konsumen yang patut menjadi contoh bagi
Negara-negara berpenduduk Muslim seperti Indonesia.
Apabila
sebuah produk tanpa label halal, bisa terjadi komunitas Muslim ragu
mengkonsumsinya sehingga menurut kalkulasi bisnis sudah barang tentu akan
kurang menguntungkan. Sebaliknya, jika berlabelkan halal, maka berkecenderungan
seluruh konsumen dengan beragam agamanya akan tetap mau mengonsumsinya. Inilah
kiranya yang dimaksudkan dengan pencantuman label halal akan lebih
menguntungkan dalam perpektif bisnis yang mengejar profit. Bukankah makanan
halal itu sah-sah saja dikonsumsi oleh siapapun yang mengenal batas
keyakinannya. Senaliknya yang tidak halal menurut keyakinanannya tidak haram
mengkonsumsinya. Inilah sejatinya pentingnya labelasi halal untuk setiap produk
untuk memperluas daya jangkau penikmat sebuah produk yang akhir-akhir ini sudah
mulai kritis dalam memilih berbagai jenis produk sebelum mengkonsumsinya.
Karenanya,
atas pertimbangan itulah para pelaku bisnis hendaknya memiliki kesadaran
bahwasanya pencantuman labelisasi halal sejatinya tidak menguntungkan secara
bisnis yang menuntut kejujuran dan keterbukaan secara etis. Menjujung
norma-norma etika tidak saja merupakan tuntutan agama, namun juga peraturan
perundangan di Negara manapun di dunia.
Demikian
pula kehadiran lembaga advokasi, baik secara langsung maupun tidak langsung
berupaya untuk melindungi kepentingan konsumen yang seringkali terabaikan,
sehingga lebih banyak merugikan mereka. Kehadiran Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI), Komisi Perlindungan Persaingan Usaha (KPPU) tidak sehat,
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), LPPOM Majelis Ulama Indonesia, dan lain
sebagainya niscaya akan dapat lebih banyak member harapan bagi konsumen guna
melindungi kepentingannya.
Selama
institusi itu mau berbuat adil, dalam arti mampu menyeimbangkan antara
kepentingan konsumen di satu sisi dan kepentingan konsumen di sisi lain.
Apabila tidak, maka niscaya kehadirannya akan tanpa makna karena tidak
memberikan keuntungan kepada semua pihak yang seringkali terjadi tarik-menarik
kepentingan. Karena itu bagaimanapun operasionalisasi semua institusi itu
sejatinya tanpa kecuali harus tetap berpegang teguh pada kode etik yang
berlaku.
Keberadaan
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang secara sosiologis lebih popular di kalangan
masyarakat luas daripada ketiga institusi di atas, secara tidak langsung akan
dapat berfungsi mengadvokasi kepentingan konsumen di mana pun mereka berada.
Terlebih lagi keberadaan LBH ini sudah sedemikian merata di seluruh tanah air,
niscaya akan lebih memudahkan konsumen untuk meminta jasanya melakukan
pembelian jika sekiranya kepentinganannya merasa dirugikan. Namun demikian,
pertanyaannya adalah maukah konsumen secara individual meminta jasa lembaga
bantuan hokum ini untuk membela kepentingannya yang secara ekonomi kurang
menguntungkan yang secara tidak langsung berfunsi membela kepentingan konsumen.
Sebab itu, di sinilah kiranya perlunya peran aktif dari institusi seperti
YLKI,KPPU,LP-POM MUI dan KPI dalam menjalankan fungsi pokoknya di tengah
masyarakat[23].
1.6 ASPEK-ASPEK
YANG PERLU DILINDUNGI: PERSPEKTIF MAQASID AL-SYARIAH
Berbagai
aspek yang perlu dilindungi sehubungan dengan perlindungan konsumen dapat
dilihat dari ajaran maqasid al-syariah, yakni
tujuan pokok diberlakukannya ajaran syariah bagi manusia yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT Yang Maha Rahman dan Rahim. Aspek-aspek tersebut meliputi agama
(dien),jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (maal).
Betapapun
perlindungan dalam masalah agama merupakan hal yang sangat fundamental sekali
bagi para pemeluk agama, tanpa kecuali bagi pemeluk Islam dimanapun mereka
berada. Oleh sebab itu, perlindungan terhadap keamanan keyakinan itu bagi
konsumen perlu diprioritaskan sebelum melindungi aspek-aspek yang lain. Kendati
demikian, tidaklah berarti asspek yang lain tidak penting diperhatikan karena
pada dasarnya, kelima aspek tersebut merupakan sebuah kesatuan yang menjamin
kesempurnaan konsumen sebagai insane yang beragam.
Melindungi
agama (dien) dimaksudkan hendaknya keyakinan seorang konsumen tidak terciderai
karena mengkonsumsi sebuah produk baik berupa makanan, minuman maupun kosmetik
yang secara umum banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas. Oleh karena itu,
kehadiran perundangan yang mengharuskan pencantuman standarisasi halal setiap
produk yang mulai banyak digalakkan di berbagai Negara adalah merupakan salah
satu bentuk pengejawatahan (ekspresi) perlindungan terhadap kepentingan
konsumen Lebelisasi halal akan menghilangkan keraguan konsumen Muslim atas
sebuah produk, sekaligus akan menjamin ketenangan dan keamanan mereka secara
syar’iy.
Demikian
pula perlindungan atas keselamatan jiwa (nafs) para konsumen niscaya merupakan
salah satu aspek yang tidak kalah krusialnya di antara aspek-aspek lain yang
patut mendapat perhatian oleh kalangan produsen. Artinya, jika sebuah produk,
apakah dalam jangka pendek maupun panjang dapat menyebabkan terganggunya jiwa,
terlebih lagi menyebabkan kematian niscaya produk tersebut sangatlah tidak etis
untuk dipasarkan. Hanya demi keuntungan sesaat dan demi kepentingan korporat
secara etis produsen tidak dibenarkan memasarkan sebuah produk yang mengancam
keselamatan jiwa, kendati bisa jadi konsumen sendiri tidak tahu akibat yang
akan menimpa dirinya. Di sinilah sejatinya hati nurani para produsen diuji
ketulusan dan kearifannya untuk menyeimbangkan antara kepentingan korporat di
satu pihak dengan kepentingan konsumen di lain pihak.
Melinduni
kesehatan akal(‘aql) tentu merupakan hal yang tidak kalah pentingnya pula
sebagai bagian dari perlindungan keamanan dan kenyamanan konsumen. Akal
merupakan anugerah Tuhan yang sangat vital dalam kesempurnaan keberagaman
seorang muslim. Tanpa akal sehat, seseorang tidak akan pernah menjadi
“mukallaf” yang dibebani tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban agama
seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan ia
dipandang sebagai manusia yang kurang sempurna sehingga terlepas dari
kewajiban-kewajiban syar’iy. Dalam kaitan ini, dalam Islam dikenal ajaran “laa diina liman laa’aqla lahu” yang
artinya tidak akan dikenai kewjiban agama bagi seseorang yang tidak mempunyai
akal (sempurna sehat).
Dalam
Islam sangat dilarang penggunaan makanan maupun minuman yang dapat merusak
kesehatan akal karena berkecenderungan akan mengganggu seseorang dalam
melaksanakan kewajiban yang diperintahkan agama. Dengan alasan inilah sejatinya
produsen dituntut agar bisa segala macam produk yang dihasilkan tidak berakibat
terganggunya kesehatan akal penggunanya.
Demikian
pula dalam kaitan dengan perlindungan terhadap keturunan (nasl). Dalam hal ini
produsen dituntut untuk memperhatikan keselamatan konsumen dalam kaitan dengan
masalah keturunan mereka. Perlu dihindari menghasilkan dan memasarkan produk
yang dapat menganggu janin, menyebabkan kemandulan, atau bahkan menyebabkan
terjadinya dekandensi moral dikalangan anak muda yang semuanya itu akan
menyuramkan harapan masa depan keluarga dalam masyarakat mendapatkan keturunan
yang sehat tentu menjadi harapan semua keluarga agar tidak terjadi loss generation yang justru sangat
ditakuti oleh semua orang. Samahalnya dengan harapan agar anak-anak keturunan
dalam sebuah keluarga menjadi manusia yang berakhlak dan bermanfaat sebagai
pelanjut kedua orang tua di masa yang akan datang.
Selanjutnya
dalam kaitan dengan perlindungan terhadap harta (maal), antara lain seyogyanya
produsen maupun penjual menetapkan harga secara proposional antara jumlah
barang dan harga yang harus dikeluarkan konsumen. Perlu ada keseimbangan antara
kualitas barang dengan harga yang pantas dan wajar. Karena dengan menjual sebuah
produk yang demikian mahal, niscaya akan mengganggu stabilitas ekonomi
seseorang selaku konsumen.
Demikian
seterusnya, banyak hal yang patut dieprhatikan oleh para produsen maupun
penjual dalam upaya melindungi kepentingan konsumen dalam berbagai aspeknya.
Dalam hal ini mereka perlu bersikap adil dan seimbang di dalam memperhatikan
kepentingan produsen selaku pencari profit dengan kepentingan konsumen selaku
penikmat sebuah produk. Apabila keseimbangan itu terwujud dan terpelihara maka
berarti etika perlindungan terhadap konsumen benar-benar telah
diimplementasikan dalam kehidupan nyata.[24]
1.7 BERAGAM
MODUS PENYIMPANGAN
Diantara
modus penyimpangan yang seringkali atau rentan dilakukan baik oleh produsen
maupun penjual adalah dalam bentuk mengkorup kualitas, mengurangi kuantitas,
dam melambungkan harga. Betapa sulit kiranya bagi produsen maupun penjual untuk
menghindari ketiga modus tersebut sehingga akan terlepas dari praktik bisnis
hitam yang tidak terpuji.
Mengurangi
kualitas misalnya, dalam praktik seorang penjual mengatakan kepada pembeli
bahwa barang yang dijual adalah kualitas di bawahnya. Bagi penjual, prakti ini
tentu menguntungkan secara material, tapi rugi secara moral karena jelass telah
merugikan konsumen secara materi yang sejatinya perlu dilindungi. Dalam
perspektif Islam, perolehan harta yang tidak jujur akam menghilangkan
keberkahan karena diraih oleh pendosa yang tidak terhormat, baik di hadapan
manusia, terlebih lagi di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Demikian
pula dalam kaitan dengan aspek kuantitas tidak jarang yang telah banyak
mengantar produsen maupun penjuaal ke lembah amoral yang sangat tidak
terterpuji, sehingga kepada pelakunya Allah SWT mengganjar dengan neraka.
Karakteristik koruptor timbangan ini dalam al-Qur’an dilukiskan, apabila menjual
ia mengurangi timbangan. Sebaliknya, jika membeli, berkecenderungan ia akan
menambah berat timbangan, yang semuanya itu akan merugikan pihak lain karena
telah ke luar dari orbital etika yang sejatinya perlu dijunjung tinggi oleh
semua pihak.
Berikutnya
yang tidak kalah seringnya pula yang biasa dipratikkan oleh para pelaku bisnis
adalah menggelembungkan harga yang berpotensi merugikan konsumen atau pembeli.
Dalam hal ini produsen atau penjual tega menaikkan harga yang sedemikian tinggi
sehingga tidak seimbang antara jumlah uang yang harus dikeluarkan konsumen
dengan kualitas dan kuantitas bbarang yang dibeli atau dikinsumsi. Tentu saja
praktik semacam ini tidaklah berbeda dengan kedua modus sebelumnya, yakni ingin
meraih keuntungan sesaat, tapi bersamaan dengan itu pula pelakunya telah
mengorbankan keberkahan dan falah yang tidak saja di dunia, bahkan juga di
akhirat kelak di kemudian hari.
Sudah
barang tentu hanyalah pelaku bisnis yang benar-benar mempunyai komitmen yang
tinggi terhadap etika sehingga ia mampu bersikap adil terhadap konsumen selaku
penikmat sebuah produk. Konsumen adalah pihak yang sejatinya wajib dilindungi
kepentingannya dan diberikan hak-haknya secara proporsional.[25]
Al-Quran
dan Hadist yang memberikan sinyal kepada kita untuk kita jalankam etika yang
berkaitan dengan etika penjualan, pembelian, dan persaingan, yang kesemuanya
itu dilakukan dengan cara-cara kebajikan.
Hadist
riwayat Bukhari:
Allah
mengasihi orang yang longgar atau toleran apabila menjual, membeli dan menagih
hutang.
Dalam
Al-Quran QS, An-Nisa ayat 107: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa, (DR. Muhammad Abdullah Al Akabi,
“Ekonomi Islam dan Penerapannya di Masa Kini” terjemahan Abdullah Suhaili :
Sastra Hudaya, Jakarta).[26]
Etika
bisnis dalam kaitan perilaku penjualan dan pembelian di tuntun oleh Islam
supaya berlaku jujur, amanah dan fathonah dan tidak ada sedikitpun salah satu
pihak yang dirugikan. Jika membuat perjanjian di dalam bisnis yang dilakukan,
maka perjanjian itu mesti ditepati. Jika dititipi amanah oleh salah satu pihak
maka amanah tersebut benar-benar dipegang teguh berusaha sekuat mungkin untuk
melaksanakan amanah tesebut. Bentuk-bentuk kesepakatan yang telah dibuat
berdasar saling mendapatkan keuntungan, tentu kesepakatan ini secara konsisten
benar-benar dilaksanakan.[27]
Contoh
kasusnya : Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di Perlakukan Tidak Adil
Berbagai
kasus tentang perlindungan konsumen selalu menjadi perhatian, dalam kasus ini
biasanya pemenangnya dari pihak produsen. Contohnya kasus prita, prita dari
sekian banyaknya korban yang memperjuangkan haknya sebagai konsumen yang
menuntut pertanggungjawabannya dari penyedia jasa. Sebagai konsumen yang
merasakan ketidakpuasan atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional.
Seharusnya Prita wajar untuk mengajukan keluhan. Prita “bukan tanpa hak” untuk
menyampaikan keluhannya. Prita menyampaikankeluh kesahnya pada jejaring sosial
di internet, justru malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama
baik.
Muasalnya
adalah tulisan Prita dalam e-mail pribadi kepada rekan-rekannya yang berisi
keluhan terhadap pelayanan RS yang berlokasi di Serpong, Tangerang tersebut.
Prita awalnya memeriksakan diri pada 7 Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi
dan sakit kepala. Ia ditangani dr. Hengky dan dr. Indah, diagnosanya adalah
Demam Berdarah (DB) dan disarankan rawat-inap. Semasa rawat inap, Prita
merasakan berbagai kejanggalan seperti terus diberikan berbagai suntikan tanpa
penjelasan apa pun. Bahkan, tangan, leher dan daerah sekitar mata mengalami
pembengkakan. Ketika Prita memutuskan untuk pindah rumah sakit, ia kesulitan
mendapatkan data medis dirinya. Yang dipermasalahkannya adalah mengapa diagnosa
awal 27.000 trombosit bisa berubah mendadak menjadi 181.000 trombosit.
Prita mempertanyakan perbedaan yang signifikan itu.
Analisis
kasus :
Dalam
kasus di atas prita menyampaikan keluhan pelayanan RS yang berlokasi di
Serpong, Tangerang tersebut melalui email pribadinya, dengantindakan itu prita
malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama baik,
pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Karena ancaman
hukuman maksimalnya disebutkan dalam pasal 45 ayat 1 UU yang sama lebih dari 5
tahun penjara atau tepatnya 6 tahun penjara, maka tersangka bisa ditahan.
Padahal
prita hanya menyampaikan keluhan yang dikemukakan Prita pada internet atas
layanan rumah sakit Omni Internasional yang tidak memuaskan konsumen dan itupun
dijamin oleh undang-undang. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yang berlaku sejak 20 April 2000.
Dari
kasus di atas akan membuat konsumen lainnya takut untuk menyuarakan
keluhannya yang pada akhirnya akan selalu menjadi obyek semena-mena pelaku
usaha produk barang atau jasa. keputusan yang kurang berpihak pada keadilan
seperti itu tidak bisa diterima,karna merugikan konsumen. [28]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka
kami menyimpulkan bahwa hingga saat ini perlindungan konsumen masih menjadi hal
yang harus diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan
pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran- pelanggaran
yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah
tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap
dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum
akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek
samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
REFERENSI
Kotler,
Philip. 2008,Manajemen pemasaran, 9.,Jakarta: Erlangga
Djakfar,
Muhammad. 2012, Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit Dan Pesan Moral
Ajaran Bumi. Jakarta: penebar plus.
Muhammad.2002.
Visi Al-Quran Tentang Etika Dan Bisnis. Jakarta:Salemba Diniyah
Drs.
Muslich, M.M.,. 1998 Etika Bisnis : Pendekatan Subtantif dan Fungsional
Yogyakarta: Penerbit Ekonisia.
http//:www.pengertian
konsumen dan kewajiban konsumen _ Ekaodon's Blog.htm
http://seftiean.wordpress.com/2012/11/04/kasus-perlindungan-konsumen
[1]
http//:www.pengertian konsumen dan kewajiban konsumen _ Ekaodon's Blog.htm
[2]
Philip kotler. Manajemen pemasaran.(Jakarta: erlangga, 2008),9
[3]
Muhammad Djakfar,Etika bisnis: menangkap spirit ajaran langit dan pesan moral
ajaran bumi.(Jakarta: penebar plus,2012),142
[4]
Ibid,143
[5]
ibid
[7] Dalam
Pasal 2 UU No. 8/ 1999
[8]
Pasal 3 UU No. 8/ 1999
[10]
Q.s asy-syu’ra (26)
[11] Nama barang;Ukuran, berat/isi
bersih, komposisi;Tanggal pembuatan;Aturan pakai; Akibat
sampingan; Nama dan alamat pelaku
usaha;Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau
dibuat, Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan
Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
[12]
Muhammad.2002. visi al-quran tentang etika dan bisnis.jakarta:salemba diniyah
[13]
Ibid, 163
[14] Dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
[15]
pasal 60
[16] dalam
pasal 62
[17]
Muhammad Djakfar,Etika bisnis: menangkap spirit ajaran langit dan pesan moral
ajaran bumi.(Jakarta: penebar plus,2012),148
[18]Ibid
149
[19]
ibid
[20]
Dalam djakfar,150
[21]
Dalam djakfar 151
[23]
Prof.Dr.H.Muhammad Djakfar.S.H,.M.Ag., Etika
Bisnis:Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. (Jakarta:
Penebar Plus,2012), hal.155-157
[24]
Prof.Dr.H.Muhammad Djakfar.S.H,.M.Ag., Etika
Bisnis:Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. (Jakarta:
Penebar Plus,2012), hal.157-160
[25]
Prof.Dr.H.Muhammad Djakfar.S.H,.M.Ag., Etika
Bisnis:Menangkap Spirit Ajaran Langit dan Pesan Moral Ajaran Bumi. (Jakarta:
Penebar Plus,2012), hal.160-161
[26]
Drs. Muslich, M.M., Etika Bisnis : Pendekatan Subtantif dan Fungsional, 1998,
Yogyakarta: Penerbit Ekonisia. Hal : 86
[27]
Drs. Muslich, M.M., Etika Bisnis : Pendekatan Subtantif dan Fungsional, 1998,
Yogyakarta: Penerbit Ekonisia. Hal : 87
[28] http://seftiean.wordpress.com/2012/11/04/kasus-perlindungan-konsumen
Langganan:
Komentar (Atom)
